Beranda | Artikel
Kewajiban Mengimani Sifat Nuzul
Senin, 17 September 2018

KEWAJIBAN MENGIMANI SIFAT NUZÛL

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim al-Atsari

Allâh Subhanahu wa Ta’ala adalah yang paling tahu tentang diri-Nya. Oleh karena itu, berita-Nya tentang diri-Nya adalah haq. Sementara Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah manusia yang paling tahu tentang Allâh Azza wa Jalla , oleh karena itu berita Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tentang Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga haq. Dan termasuk iman yaitu menerima berita Allâh  dan Rasul-Nya dengan sepenuh hati.

Diantara sifat Allâh Azza wa Jalla  yang diberitakan oleh Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam adalah nuzûl (turun). Salafush Shalih sepakat membenarkan berita tersebut. Mereka menetapkan sifat nuzûl (turun) bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dengan tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan tanpa menggambarkan ataupun bertanya bagaimana?

Makna sifat nuzûl (turun) itu jelas, namun bagaimana cara nuzûl-Nya, itu tidak diketahui; Mengimani keberadaan sifat itu wajib, karena itu merupakan berita dari Rasulullâh  Shallallahu ‘alaihi wa salam, sedangkan bertanya dan meragukannya adalah bid’ah dalam agama.

DALIL-DALIL SIFAT NUZUL
Di antara dalil tentang sifat nuzûl bagi Allâh Azza wa Jalla adalah hadits-hadits berikut:

1. Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: “يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ: مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Rabb kita Tabaroka wa Ta’ala turun ke langit dunia (langit yang paling rendah) pada setiap malam, yaitu ketika tinggal sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Barangsiapa berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan! Barangsiapa meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan! dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni”. [HR. Al-Bukhâri, no. 1145 dan Muslim, no. 168/758]

Dalam satu riwayat dengan lafazh:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: ” يَنْزِلُ اللهُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كُلَّ لَيْلَةٍ حِينَ يَمْضِي ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ، فَيَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، أَنَا الْمَلِكُ، مَنْ ذَا الَّذِي يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ، مَنْ ذَا الَّذِي يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ ذَا الَّذِي يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ، فَلَا يَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يُضِيءَ الْفَجْرُ “

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Allâh Azza wa Jalla turun ke langit dunia pada setiap malam, yaitu ketika telah lewat sepertiga malam pertama. Dia berfirman, ‘Saya adalah Raja, Saya adalah Raja. Barangsiapa berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan! Barangsiapa meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan! Dan barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.’ Allâh Azza wa Jalla terus melakukannya sampai terbit fajar”. [HR. Muslim, no. 169/758 dan Tirmidzi, no. 446]

2. Hadits Abu Said
Imam Muslim rahimahullah juga meriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu anhu bersamaan dengan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، وَأَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ اللهَ يُمْهِلُ حَتَّى إِذَا ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ الْأَوَّلُ، نَزَلَ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا، فَيَقُولُ: هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرٍ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ؟ هَلْ مِنْ سَائِلٍ؟ هَلْ مِنْ دَاعٍ؟ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ

Dari Abu Sa’id Radhiyallahu anhu dan Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , keduanya berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda, “Sesungguhnya Allâh  menanti, ketika telah lewat sepertiga malam pertama,  Allâh Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia lalu berfirman, ‘Adakah yang memohon ampun? Adakah yang bertaubat?  Adakah yang berdoa? sampai terbit fajar”. [HR. Muslim, no. 172/758; Tirmidzi, no. 446]

Hadits-hadits ini shahih, tetapi penggalan riwayat yang artinya, “ketika telah lewat sepertiga malam pertama” lemah karena menyelisihi riwayat-riwayat lain yang lebih shahih, seperti hadits sebelumnya, yaitu “ketika tinggal sepertiga malam terakhir”, sebagaimana dijelaskan oleh para Ulama, seperti Imam Tirmidzi dan lainnya.

Hadits-hadits di atas dan lainnya nyata menunjukkan bahwa Allâh Azza wa Jalla yang turun ke langit dunia. Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam “Rabb kita Tabâraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam”, menunjukkan yang turun adalah Allâh Azza wa Jalla .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , “Dia (Allâh ) berfirman, ‘Barangsiapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan! Barangsiapa meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan! Dan barangsiapa memohon ampun kepada-Ku’, ini menunjukkan bahwa yang turun adalah Allâh. Karena tidak boleh berdoa, meminta, dan memohon ampun kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , “Dia (Allâh ) berfirman, “Saya adalah Raja. Saya adalah Raja”, menunjukkan yang turun adalah Allâh Azza wa Jalla .

Maka anggapan sebagian orang bahwa yang turun adalah perintah-Nya, atau rahmat-Nya, atau malaikat-Nya, merupakan tahrîf (tindakan merubah) makna sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , dan menyimpang dari jalan yang lurus.

RIWAYAT HADITS NUZUL YANG DHAIF
Adapun hadits yang menyebutkan bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan seorang penyeru (Malaikat) untuk menyeru, sehingga difahami bahwa yang turun dan menyeru adalah Malaikat, maka ketahuilah bahwa hadits itu dhaif (lemah).

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam an-Nasâ’i  dalam Amalul Yaum wal Lailah, no. 482, dari jalan Umar bin Hafsh bin Ghiyas, bapakku telah bercerita kepadaku, al-A’masy telah bercerita kepada kami, Abu Ishaq telah bercerita kepada kami, Abu Muslim al-Aghar telah bercerita kepada kami, dia berkata: Aku mendengar Abu Hurairah dan Abu Sa’id, keduanya berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

إِن الله عز وَجل يُمْهل حَتَّى يمْضِي شطر اللَّيْل الأول ثمَّ يامر مناديا يُنَادي يَقُول هَل من دَاع يُسْتَجَاب لَهُ هَل من مُسْتَغْفِر يغْفر لَهُ هَل من سَائل يعْطى

“Sesungguhnya Allâh  ‘Azza wa Jalla menanti, sehingga lewat separuh malam pertama,  lalu Allâh  memerintahkan seorang penyeru (Malaikat) untuk menyeru, “Adakah orang yang mau berdoa, dan akan dikabulkan; Adakah orang yang mau memohon ampun, dan akan diampuni; Adakah orang yang mau meminta, dan akan diberi? [HR. An-Nasâ’i di dalam Amalul Yaum wal Lailah, no. 482]

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sanad hadits ini nampaknya shahih, karena semua perawinya terpercaya, para perawi Imam al-Bukhâri dan Muslim. Tetapi perawi bernama Umar bin Hafsh bin Ghiyas ada kelemahan. Hal ini disyaratkan oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Taqrib, dia berkata tentang Umar ini, “Terpercaya, terkadang keliru”. Dan dia berkata tentang Hafsh, “Terpercaya, seorang faqîh (ahli fiqih), tetapi hafalannya sedikit berubah di akhir hayatnya”. Lalu al-Hafizh Ibnu Hajar menyebutkan beberapa hadits yang dia salahkan, salah satunya riwayat Hafsh dari al-A’masy ini.

Aku yakin bahwa hadits ini termasuk yang dia salah dalam lafazhnya, karena menyelisihi para perawi yang terpercaya. Banyak perawi terpercaya telah meriwayatkan dari  Abu Muslim al-Aghar, tanpa kalimat “Allâh  memerintahkan seorang penyeru (Malaikat) untuk menyeru”.

Para perawi terpercaya tersebut adalah: Syu’bah bin al-Hajjaj, Manshur Ibnul Mu’tamir al-Kufi, Fudhail  Ibnul Ghazwan al-Kufi, Abu ‘Awanah al-Wadhah bin Abdillah al-Yasykari. Dengan demikian kalimat tersebut tidak shahih. [Lihat Silsilah Dhaifah, 8/355-357, no.  3897]

HADITS NUZUL MUTAWATIR
Hadits nuzûl berderajat mutawatir sehingga memberikan keyakinan yang pasti kebenarannya. Hadits Mutawatir adalah: hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang secara adat kebiasaan mustahil bersepakat membuat kedustaan, dan mereka menyandarkan kepada sesuatu yang dapat dilihat/didengar. [Lihat: Mushthalahul Hadits, hal. 6, karya Syaikh al-Utsaimin]

Banyak ulama menyatakan kemutawatiran hadits nuzûl. Antara lain:

Imam Ibnu Abdil Barr (wafat th 463 H)
Setelah membawakan hadits-hadits nuzûl, beliau t berkata:

وَهُوَ حَدِيثٌ مَنْقُولٌ مِنْ طُرُقٍ مُتَوَاتِرَةٍ وَوُجُوهٍ كَثِيرَةٍ مِنْ أَخْبَارِ الْعُدُولِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Hadits ini dinukil dari jalan-jalan yang mutawatir dan jalur yang banyak sekali dari orang-orang yang adil dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam ”. [At-Tamhid, 7/128]

Imam Abdul Ghani al-Maqdisi rahimahullah (wafat th 600 H)
Beliau rahimahullah berkata, “Telah mutawatir hadits-hadits dan shahih riwayat-riwayat bahwa Allâh  Azza wa Jalla turun setiap malam ke langit dunia. Maka wajib untuk beriman dengannya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (membagaimanakan), tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk), tanpa takwil (menyelewengkan artinya), dan tanpa tanzîh (beralasan menyucikan Allâh) sehingga meniadakan hakekat turunnya Allâh ”. [Al-Iqtishâd fil I’tiqâd, hlm. 100]

PEMAHAMAN HADITS NUZUL
Sebagaimana diketahui bahwa generasi yang paling memahami al-Qur’an dan al-Hadits adalah para Sahabat dan generasi-generasi sesudahnya.  Karena mereka adalah generasi paling baik. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tâbi’in), kemudian orang-orang yang mengiringinya (yaitu generasi tâbi’ut tâbi’in). [Hadits Mutawatir, riwayat al-Bukhâri, dan lainnya]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata : “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam memberitakan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasi Beliau secara mutlak. Itu mengharuskan mendahulukan mereka dalam seluruh masalah dari masalah-masalah kebaikan”. [I’lamul Muwaqqi’in 2/398, Darul Hadits, Kairo, Th: 1422 H / 2002 H]

Para Sahabat adalah manusia terbaik karena mereka adalah murid-murid Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa salam  , mereka lebih memahami al-Qur’an dan as-Sunnah dari generasi-generasi sesudahnya. Para sahabat menetapkan sifat nuzûl Allâh Subhanahu wa Ta’ala , sebagaimana diberitakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , maka kita juga wajib menetapkannya.

Sahabat Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu (wafat th 32 H) berkata:

“إِنَّ اللَّهَ يَفْتَحُ أَبْوَابَ السَّمَاءِ فِي ثُلُثِ اللَّيْلِ الْبَاقِي ثُمَّ يَهْبِطُ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَبْسُطُ يَدَهُ فَيَقُولُ: أَلَا عَبْدٌ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ فَمَا يَزَالُ كَذَلِكَ حَتَّى يَصْدَعَ الْفَجْرُ”

“Sesungguhnya Allâh  membuka pintu-pintu langit di sepertiga malam yang akhir,  lalu turun ke langit dunia, lalu membuka tangan-Nya, lalu berfirman: “Adakah hamba yang meminta kepada-Ku, lalu Aku akan memberinya? Allâh  terus melakukan demikian sampai terbit fajar”. [Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 3/498, no. 765]

Sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu (wafat th 68 H) berkata:

” إِنَّ اللَّهَ يُمْهِلُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ كُلَّ لَيْلَةٍ إِذَا ذَهَبَ الثُّلُثُ الْأَوَّلُ مِنَ اللَّيْلِ هَبَطَ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا ثُمَّ قَالَ: هَلْ مِنْ سَائِلٍ فَيُعْطَى؟ هَلْ مِنْ مُسْتَغْفِرِ فَيُغْفَرُ لَهُ؟ هَلْ مِنْ تَائِبٍ فَيُتَابُ عَلَيْهِ؟ “

“Sesungguhnya Allâh  menanti setiap malam di bulan Ramadhan, jika telah lewat sepertiga malam pertama,  Allâh  turun ke langit dunia lalu berfirman: “Adakah yang meminta,  lalu dia akan diberi? Adakah yang memohon ampun, lalu dia akan diampuni? adakah yang bertaubat, lalu taubatnya diterima?” [Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 3/498, no. 766]

Oleh karena itu imam empat yang terkenal di seluruh penjuru dunia juga menetapkan sifat nuzûl bagi Allâh Subhanahu wa Ta’ala .

Imam Abu Hanifah rahimahullah (wafat th 150 H)
Syaikhul Islam Abu Utsman Isma’il bin Abdurrahman Ash-Shabuniy rahimahullah  berkata, “Aku mendengar al-Ustadz Abu Manshur bin Hammad berkata, setelah beliau meriwayatkan hadits nuzûl, “Imam Abu Hanifah ditanya tentang hadits nuzûl? Beliau menjawab, “Dia turun tanpa kita ketahui caranya”. [Syarah Aqidah ath-Thahawiyah, hal.222, Darus Salam]

Imam Syafi’iy rahimahullah (wafat th 204 H)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa Imam Syafi’iy  rahimahullah  berkata:

Pembicaraan tentang Sunnah (yakni: Aqidah) yang aku yakini dan diyakini oleh para sahabat kami, yaitu Ahlul Hadits, orang-orang yang pernah aku lihat dan aku mengambil ilmu dari mereka, seperti Sufyân, Mâlik dan selainnya, adalah mengakui syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah kecuali Allâh  dan Muhammad adalah Rasûlullâh , dan bahwasanya Allâh  berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki. Dan bahwa Allâh  turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki.” [Lihat Ijtima’ul Juyusy al-Islamiyyah (hlm. 94 dan 122), Mukhtashar al-‘Uluw (hlm. 176), Majmu’ Fatawa (IV/181), dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/41 dan 47)]

Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th 241 H)
Hanbal bin Ishaq berkata, “Aku bertanya kepada Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal tentang hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam “Sesungguhnya Allâh  turun ke langit dunia”. Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal menjawab, “Kita mengimaninya, membenarkannya, dan tidak menolak sedikitpun darinya, jika sanad-sanadnya shahih. Dan kita tidak menolak sabda Rasûlullâh n .”

Hanbal bin Ishaq bertanya lagi “Allâh  turun ke langit dunia. Turunnya dengan ilmu-Nya atau apa?” Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal berkata kepadanya:

Diam-lah dari ini. Apa urusanmu dengan ini? Jalankan hadits itu menurut yang diriwayatkan, tanpa bertanya bagaimana, dan tanpa membatasi (seperti sifat makhluk). (Sifat-sifat Allâh ) itu diterangkan di dalam riwayat-riwayat dan al-Kitab (al-Qur’an), Allâh  Azza wa Jalla berfirman: “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (sesuatu yang menyerupai) bagi Allâh ”. [An-Nahl/16: 74]

Allâh  turun menurut yang Dia kehendaki, dengan ilmu-Nya, kekuasan-Nya, dan keagungan-Nya. Dia meliputi segala sesuatu dengan ilmu-Nya. Orang yang menerangkan sifat-Nya tidak akan mencapai kedudukan-Nya. Larinya orang yang berlari tidak akan bisa menjauh dari-Nya”. [Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, 3/502, no. 777]

Sesungguhnya Salafus Shalih bersepakat menerima kandungan hadits nuzûl, tetapi sebagian orang-orang yang datang belakangan menyelisihi jalan para pendahulunya. Maka kebenaran adalah jalan yang telah ditempuh oleh Salafus Shalih.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (wafat th 728 H) mengatakan:
Orang pertama yang menyebutkan nash Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam (tentang turunnya Allâh ), perkataannya benar. Karena perkataannya itu telah diriwayatkan di dalam Sunnah yang sangat banyak dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam . Para salaf dan para imam umat ini, serta para ahli ilmu terhadap Sunnah dan hadits telah bersepakat membenarkan dan menerima hadits ini. Barangsiapa yang berkata dengan perkataan rasul, maka perkataannya benar dan sesuai kenyataan.” [Majmu’ Fatawa, 5/322]

Perlu juga diketahui bahwa hadits nuzûl ini disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam , diriwayatkan oleh banyak sahabat, diteruskan oleh para tabi’in, sampai tertulis di dalam banyak kitab-kitab hadits dan aqidah. Tidak ada seorangpun dari mereka yang mengingkari, tidak ada yang bertanya bagaimana turun-Nya, dan tidak ada yang merubah maknanya, bahkan mereka semua mendengar dan meyakininya. Maka kebenaran adalah dengan mengikuti jalan mereka.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengucapkan perkataan ini (hadits nuzûl) dan yang semisalnya secara terang-terangan, Beliau menyampaikan kepada umat dengan umum, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam tidak menyampaikan hadits ini secara khusus kepada satu orang dan tidak kepada orang lain, Beliau juga tidak menyembunyikannya dari seorangpun. Para Sahabat dan para tabi’in juga menyebutkannya, meriwayatkannya, dan menyampaikannya. Mereka meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan umum. Dan hadits nuzûl ini  dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahîh al-Bukhari, Shahîh Muslim, Muwaththa’ Imâm Malik, Musnad Imâm Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa-i, dan yang semisalnya dari kitab-kitab kaum muslimin.” [Majmu’ Fatawa, 5/322-323]

FAEDAH:
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sikap yang wajib diambil seorang Muslim terhadap nuzûl ilaahiy (hadits yang memberitakan Allâh  turun ke langit dunia), adalah sama dengan sikap yang diambil oleh Salafus Shalih dan para imam. Jawaban Imam Malik kepada orang yang bertanya kepadanya tentang istiwa’ Allâh  (keberadaan Allâh di atas ‘arsy) telah dikenal. Dan telah mendapatkan jawaban Imam Abu Ja’far at-Tirmidzi tentang nuzûl seperti jawaban Imam Malik tersebut. Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam Siyar A’lamin Nubala’, 13/547, “Walid Abu Hafsh bin Syahîn berkata: “Aku hadir ketika Abu Ja’far ditanya tentang hadits nuzûl, dia menjawab, “Nuzûl (turun) itu difahami artinya, bagaimana cara nuzûl tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan bertanya mengenainya adalah bid’ah”. [Lihat Silsilah Dhaifah, 13/744, penjelasan hadits no.  6334]

Allâhu Akbar!. Alangkah persisnya aqidah ulama Ahlus Sunnah sepanjang zaman. Semoga Allâh Subhanahu wa Ta’ala menetapkan kita di atas jalan Salafus Shalih.

Kalau demikian pantaskah umat Islam sekarang ada yang mengingkarinya, atau merubah-rubahnya, dengan mengatakan yang turun adalah Malaikat, atau perintah-Nya, atau rahmat-Nya? Sungguh, kebenaran adalah dengan mengikuti jalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam dan para sahabatnya. Wallâhul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/9797-kewajiban-mengimani-sifat-nuzul.html